Upil dan Jiwa, serta anaknya, sebagai keluarga yang tinggal di Sedayu, Bantul, dengan rumah tumbuh. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja

Rumah adalah salah satu kebutuhan pokok manusia dalam konsep “sandang, pangan, papan”. Namun, untuk mendapatkan rumah diperlukan finansial yang cukup. Salah satu cara mempercepat pemenuhan finansial adalah dengan menunda kesenangan atau berhenti menghabiskan uang untuk hal yang tidak diperlukan.

Hal itu disampaikan oleh sepasang suami istri muda yang tinggal di pedesaan Jogja. Mereka adalah Adawiyah Riwan, atau akrab disapa Upil, dan Jiwangga Putra. Dua sejoli ini tinggal di Sedayu, Bantul.

Keduanya tidak berasal dari Jogja, Upil dari Jakarta, Sedangkan Jiwa dari Semarang. Mereka memutuskan untuk tinggal di pedesaan Jogja karena adanya kepentingan pekerjaan dan ingin lebih dekat dengan asrinya alam.

Desain rumah milik Upil dan Jiwa. Foto: Dok. Instagram/masjiwa

Menunda kesenangan yang dimaksud oleh pasutri ini adalah pengaturan finansial. Di era yang semakin konsumtif, Upil dan Jiwa perlu pembatasan pengeluaran yang lebih ketat agar tidak tergoda untuk menghabiskan uang pada barang yang tidak dibutuhkan.

“Jika sudah memutuskan untuk ingin memiliki rumah memang yang paling penting adalah menunda kesenangan. Uang jangan habis begitu saja karena kita hidup tidak cuman buat di hari itu saja. Kita akan berpikir lima tahun ke depan,” kata Upil saat ditemui Pandangan Jogja beberapa waktu lalu.

“Jadinya sekarang pelan-pelan terwujud dengan cara menunda kesenangan kesenangan. Kebanyakan mungkin kalau belum menikah, ya gaya hidup konsumtif. Cepat-cepat ganti mobil dan sebagainya. Nah, kami menunda itu untuk fokus bangun rumah,” timpal Jiwa.

Jiwangga Putra. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja

Upil dan Jiwa juga tidak jor-joran dalam membangun rumah. Mereka pelan-pelan menciptakan rumah impian dengan menggunakan konsep rumah tumbuh, yaitu rumah yang dibangun bertahap atau pelan-pelan.

“Pada prinsipnya, rumah tumbuh itu kita membangun rumah secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dan dana yang dimiliki untuk saat ini. Kita tidak harus membangun rumah secara total dan kita hanya memenuhi kebutuhan dasar untuk rumah tinggal,” kata Upil.

“Nanti di mulai lagi ketika kondisinya sudah terpenuhi secara dana dan kesiapan, dan kami tidak memaksakan harus selesai dalam jangka waktu yang cepat-cepat, kita realistis aja,” balas Jiwa.

Bagi mereka berdua, memiliki rumah tumbuh di pedesaan Jogja itu membuat pasutri ini lebih dekat dengan alam, dan merasa jauh dari hingar bingar perkotaan yang serba cepat. Keduanya mengatakan bahwa diri mereka merasa lebih tenang hidup di sana.

Ilustrasi kehidupan di desa. Foto: Nadine/Pixabay

“Di desa, gaya hidup itu lebih tenang, lebih damai, dan tidak terpengaruh oleh tren yang cepat seperti di kota besar. Kualitas udara di desa juga lebih baik. Selain itu, keramahan warga sekitar juga membuat hidup lebih nyaman. Kami juga merasa lebih sehat dan lebih diterima oleh masyarakat setempat,” jelas Upil.

Rumah tumbuh milik keduanya mengaplikasikan prinsip Omah RAGGA (responsible, airflow, grow, garden, and adaptive). Jiwa mengaku rumah ini dirancang dengan memperhatikan ventilasi yang baik untuk menghemat energi dan menjaga kenyamanan penghuni.

By admin