Pelemahan nilai tukar rupiah hingga angka Rp 16.412 per dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat (14/6), dinilai sebagai fenomena sesaat.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, memandang nilai tukar rupiah tidak akan sampai pada level Rp 16.500 per dolar AS atau bahkan Rp 17.000 per dolar AS.
“Kemungkinan besar ke depannya ini masih pergerakan sesaat atau fenomena sesaat pelemahan ini, dalam artian belum akan terus berlanjut ya sampai lebih dari Rp 16.500 atau tidak akan sampai melemah sampai Rp 17.000,” kata Faisal kepada kumparan, Minggu (16/6).
Menurut Faisal, hal ini dikarenakan penyebab utama pelemahan rupiah ini adalah faktor global, khususnya Federal Reserve yang urung menurunkan suku bunga acuan Amerika Serikat pada paruh kedua tahun ini.
“Sepertinya akan paling cepat akan dilakukan di akhir tahun, itu jadinya ini kemudian memberikan tekanan kepada mata uang negara-negara emerging market termasuk Indonesia,” jelas Faisal.
Terlebih di dalam negeri, Faisal meyakini Bank Indonesia (BI) juga akan melakukan berbagai langkah intervensi untuk menstabilkan nilai tukar rupiah. “Baik dengan menggelontorkan cadangan devisa maupun juga kebijakan yang lain,” imbuh Faisal.
Meski sesaat, Faisal mengakui pelemahan rupiah tetap akan berpengaruh pada berbagai sektor usaha, utamanya yang mengandalkan bahan baku atau penolong impor.
“Akan membuat barang-barang impor menjadi lebih mahal, artinya akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi konsumen di dalam negeri yang memberi barang impor barang-barang jadi maupun juga bagi industri yang mengimpor bahan baku khususnya dari luar negeri,” tutur Faisal.