Kondisi dunia kita saat ini sungguh memprihatinkan akibat krisis iklim yang kian memburuk. Kekeringan, cuaca ekstrem, hingga kekeringan terjadi di berbagai belahan dunia, tak terkecuali wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara. Dampak negatif yang dihasilkan dari kerusakan lingkungan ini memengaruhi kualitas hidup jutaan orang, tak terkecuali perempuan.
Ladies, tahukah kamu bahwa perempuan menjadi pihak yang paling rentan merasakan dampak negatif akibat krisis iklim?
Dikutip dari keterangan resmi oleh Monash University Australia, negara-negara yang paling terdampak kerusakan iklim cenderung punya populasi perempuan dan anak perempuan yang rentan menghadapi risiko meninggal saat melahirkan, pernikahan dini, menjadi korban kekerasan berbasis gender (KBG), atau menjadi pengungsi dan kehilangan tempat tinggal karena bencana.
Ya, sebagian besar negara yang paling terdampak krisis iklim memiliki roda perekonomian yang disokong oleh sektor pertanian dan sistem pangan berbasis pertanian atau agri-food. Akibat dari krisis iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem dan pemanasan global, banyak negara yang sistem pertaniannya berantakan.
“Kekeringan, banjir dan gelombang panas menjadi lebih sering dan intens terjadi, sehingga secara langsung menghambat pertumbuhan tanaman, menyebabkan degradasi tanah dan membahayakan sistem agri-food, termasuk pertanian, perdagangan, kewirausahaan, produksi peternakan, serta pengambilan air dan irigasi,” ungkap Monash University, dikutip kumparanWOMAN pada Jumat (17/5).
Perempuan sektor pertanian dan agri-food paling terdampak
Lantas, bagaimana krisis iklim dan kekacauan sistem pertanian bisa berdampak negatif pada perempuan? Sebagian besar tenaga kerja di sektor pertanian atau agri-food merupakan perempuan, terutama perempuan usia 15–24 tahun. Contohnya, di Asia Selatan, 71 persen perempuan terlibat di sektor agri-food. Pun dengan di Sri Lanka, di mana para perempuan lanjut usia sangat bergantung pada sektor ini.
Kendati sektor ini didominasi oleh tenaga kerja perempuan, ketimpangan gender masih sungguh terasa. Contohnya, banyak perempuan yang masih bergulat dengan masalah kepemilikan dan hak tanah, terbatasnya akses terhadap sumber daya keuangan, dan pembagian tanggung jawab rumah tangga yang tidak merata.
Tak hanya itu, menurut laporan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), banyak laki-laki yang meninggalkan lahan pertaniannya akibat krisis iklim. Akhirnya, perempuan harus menghadapi tantangan baru, yaitu mengurus rumah tangga sekaligus mencari nafkah di industri yang masih diskriminatif terhadap perempuan.
Ngerinya dampak krisis iklim terhadap perempuan
1. Kemiskinan
Dalam laporan UN Women yang dirilis pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP28 November lalu, dijelaskan bahwa krisis iklim akan mendorong semakin banyak perempuan ke dalam jurang kemiskinan.
Pada 2050, 158 juta perempuan dan anak perempuan diprediksi mengalami kemiskinan. Lebih dari 236 juta orang di dunia berisiko mengalami kerawanan pangan.
Ini disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah kerusakan lingkungan. Seperti yang sudah disebutkan, perempuan merupakan pihak yang sangat rentan saat terjadi bencana.
Ketimpangan gender dalam perekonomian menyulitkan mereka untuk kembali bangkit usai bencana tersebut terjadi. Selain itu, kerusakan lingkungan juga menyebabkan kesulitan ekonomi yang dirasakan oleh perempuan.
2. Meningkatnya pernikahan dini
Tekanan ekonom akibat krisis iklim menyebabkan banyak perempuan remaja terpaksa menikah di usia dini. Dikutip dari laporan UN Women, di wilayah-wilayah yang mengalami kerusakan iklim, angka pernikahan dini mengalami peningkatan.
Menurut organisasi End Violence Against Children, pernikahan dini di wilayah terdampak krisis iklim disebabkan oleh beberapa hal.
“Bencana alam dan praktik yang tidak berkelanjutan berujung pada kehilangan sumber daya. Bagi sejumlah keluarga yang terdampak hal ini, pernikahan anak menjadi satu cara untuk meringankan tekanan yang disebabkan oleh sumber daya terbatas, atau bahkan untuk memperoleh pemasukan lewat praktik sosial seperti mahar yang dibayarkan kepada keluarga perempuan atau uang antaran yang dibayarkan kepada keluarga laki-laki,” jelas organisasi tersebut.
3. Masalah kesehatan hingga kematian
Masalah kesehatan yang dialami perempuan akibat krisis iklim sangat pelik. Menurut keterangan dari Monash University, perbedaan fisiologis antara perempuan dan laki-laki memberikan risiko bagi kesehatan perempuan.
Ketika petani perempuan bekerja di luar ruang dengan kondisi cuaca yang panas, kesehatan mereka jadi taruhan. Kelangkaan makanan dan kelaparan yang dialami keluarga menyebabkan banyak perempuan mengalami malnutrisi dan anemia.
Ini disebabkan oleh kecenderungan perempuan untuk memprioritaskan kebutuhan anggota keluarganya terlebih dahulu dibandingkan diri sendiri.
Tak hanya itu, banyak perempuan yang terpaksa menunda atau mengabaikan pelayanan kesehatan akibat krisis ekonomi yang dihadapi.
Akhirnya, banyak dari mereka yang menderita komplikasi kehamilan, keguguran, buruknya penggunaan kontrasepsi, hingga kesalahan penanganan penyakit kronis. Ini bisa berujung pada kematian perempuan.
4. Kekerasan terhadap perempuan
Krisis iklim juga menyebabkan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan. Perkawinan anak menjadi salah satu faktor penyebab KBG, mengingat kesiapan mental mereka belum matang ketika melangkah ke jenjang pernikahan.
Selain itu, banyak perempuan yang mengalami kekerasan ketika menjadi pengungsi usai terjadinya bencana alam.