Ekonom menyebut aturan impor baru yang diterbitkan pemerintah bisa mengancam industri tekstil hingga neraca perdagangan Indonesia yang selama ini surplus selama 49 bulan beruntun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2024 surplus USD 2,93 miliar.
Ekonom Universitas Negeri Sebelas Maret Solo (UNS), Ernoiz Antriyandarti, mengatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 menambah gempuran impor produk tekstil dan turunannya. Menurutnya, beleid tersebut menghilangkan beberapa aturan yang selama ini menjadi batasan dalam melakukan impor barang ke Indonesia.
“Aturan terbaru yang dikeluarkan Menteri Perdagangan ini dapat menjadi masalah baru bagi industri secara umum serta khususnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Penurunan daya saing tekstil Indonesia dalam dekade terakhir ini saja masih belum terselesaikan. Permendag No 8 tahun 2024 berpotensi memperburuk kondisi pertekstilan Indonesia,” ujar Ernoiz dalam keterangannya, Kamis (20/6).
Ia menilai, aturan tersebut mempengaruhi sektor industri dalam negeri dan khususnya serapan tenaga kerja. Menurutnya, saat ini banyak kebijakan-kebijakan yang minim kajian sebelum diberlakukan. Akibatnya, kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pasti menimbulkan kerugian publik.
“Apa sebenarnya target pemerintah dengan instrumen kebijakan ini? Menurunkan inflasikah? Jika betul, berapa persen ekspektasinya, karena inflasi dan pengangguran merupakan trade off yang sulit dihindari. Kurva Phillips mengingatkan bahwa penurunan inflasi cenderung meningkatkan pengangguran,” jelasnya.
Ernoiz mengingatkan agar pemerintah tetap mengedepankan daya saing industri dalam negeri dibanding tekanan atau pujian pemerintahan asing. Menurutnya, sebagai anggota World Trade Organization (WTO), Indonesia harus mendukung liberalisasi perdagangan, namun di satu sisi pemerintah juga harus berhati-hati dan melindungi produsen dalam negeri, terlebih lagi jika sektor tersebut jelas-jelas telah kehilangan daya saingnya.
“Banyak komoditas Indonesia masih harus menguatkan daya saingnya, ketika semakin diliberalisasi maka dampak negatif dari perdagangan internasional akan lebih dirasakan oleh produsen-produsen dalam negeri, terutama produsen berskala kecil,” imbuh Ernoiz.
Ernoiz juga menyoroti beberapa asosiasi industri yang menyuarakan bahwa setelah aturan Permendag 8/2024 mulai kehilangan kontrak dalam negeri karena pelanggannya memilih untuk melakukan impor.
“Momentum ini dapat menurunkan kepercayaan pengusaha dalam negeri terhadap keberpihakan pemerintah. Iklim usaha di dalam negeri dapat terganggu yang jika dibiarkan akan menimbulkan bibit-bibit terjadinya guncangan ekonomi nasional.” tambah Ernoiz.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana mengatakan kebijakan baru dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) tersebut sudah mulai dirasakan dampaknya bagi para pelaku industri tekstil di Indonesia.
“Dalam waktu cepat puluhan ribu kontainer yang masuk ke Indonesia secara legal karena dibuka oleh Permendag itu kemudian akan menghantam produk-produk industri tekstil dan garmen kita yang domestik. Nah kurang lebih proyeksi kita dalam satu tahun ke depan apabila itu tetap terjadi maka setiap bulan akan muncul kurang lebih 10.000-30.000 kontainer,” kata Danang.
Menurutnya, pelaku industri tidak dilibatkan dalam pembahasan aturan tersebut. “Perubahan peraturan dari Permendag No. 36/2023 menjadi Permendag 8/2024 ini kan kemudian juga tidak melibatkan kami. Sehingga kami tahunya ya terkaget-kaget, loh kok tiba-tiba ada perubahan ini, tiba-tiba ada perubahan ini, tiba-tiba dibuka lebar-lebar,” jelas Danang.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan mengatakan, jika industri TPT rontok, pihak mana pun tidak boleh menyalahkan Permendag No. 8/2024. Hal ini dikarenakan, Permendag tersebut masih mensyaratkan Pertimbangan Teknis (Pertek) sebagai dokumen impor produk TPT yang sebelumnya disyaratkan dalam Permendag No.36/2023.
Tujuan penerapan Pertek yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tersebut, adalah untuk melindungi industri dalam negeri.
“Kalau tekstil Pertek masih, kalau (industri) tekstil kita tutup, jangan salahkan Permendag 8, karena TPT masih ada Pertek dari kementerian Perindustrian, nggak dihapus,” kata Zulhas dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/6).
Sementara itu, Plt Direktur Jenderal (Dirjen) Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Reni Yanita mengatakan, industri tekstil sebenarnya mulai pulih dari pandemi. Namun saat ini harus kembali menghadapi tekanan karena aturan yang berubah.
“Memang uniknya tekstil, semangatnya pasar tekstil dan alas kaki di bawah Rp 100.000 bisa diisi industri dalam negeri. Tapi ketika lagi semangat-semangatnya, aturan berubah lagi,” kata Reni saat berbincang dengan media di Beijing, China, Sabtu (15/6).