Anggota DPR RI sekaligus keponakan Presiden Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati di Gelanggang Remaja Jakarta Utara, Minggu (10/11/2024). Foto: Alya Zahra/kumparan

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Rahayu Saraswati, heran atas pernyataan salah satu Anggota DPR dari Fraksi PDIP yang meminta batalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen. Kabar ini menjadi salah satu berita populer di kumparanBisnis pada Minggu (22/12).

Kabar lainnya yang ramai dibaca publik yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkap transaksi pembayaran melalui uang elektronik, seperti e-money maupun Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) akan akan dikenakan PPN 12 persen mulai tahun depan, dan dibebankan ke merchant.

Berikut rangkuman berita populer kumparanBisnis.

Gerindra Heran PDIP Tolak PPN 12 persen

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI ini mengungkapkan, saat pembahasan Undang-Undang (UU) yang mengamanatkan kenaikan PPN bertahap hingga ke 12 persen ketua Panitia Kerja (Panja) berasal dari Fraksi PDIP.

“Padahal mereka saat itu Ketua Panja UU yang mengamanatkan kenaikan PPN 12 persen ini. Kalau menolak ya kenapa tidak waktu mereka Ketua Panjanya?,” kata Saras kepada kumparan, Minggu (22/12).

Saras mengatakan, dirinya hanya bisa tersenyum dan geleng-geleng kepala kala salah satu Anggota DPR dari Fraksi PDIP menyatakan penolakannya terhadap PPN 12 persen.

“Jujur saja, banyak dari kita saat itu hanya bisa senyum dan geleng-geleng ketawa. Dalam hati, hebat kali memang kawan ini bikin kontennya,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil ketua Badan Anggaran sekaligus anggota Fraksi Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto, menjelaskan lebih rinci peran PDIP dalam merumuskan kebijakan yang tengah menjadi sorotan publik ini.

Wihadi mengatakan, kenaikan PPN menjadi 12 persen ini merupakan keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menjadi 11 persen tahun 2022 dan 12 persen hingga 2025 yang diinisiasi oleh PDI Perjuangan. Dalam proses perumusan aturan ini, PDIP bahkan langsung mengomandoi panja pembahasan kenaikan PPN.

Transaksi E-Money-QRIS Dibebankan ke Merchant

Pembeli menggunakan aplikasi Livin’ Bank Mandiri untuk membayar dengan QRIS di pasar tradisional di Jakarta, Jumat (8/3/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan hal ini dikarenakan transaksi pembayaran melalui QRIS merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran.

Aturan penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

PPN tersebut dikenakan atas Merchant Discount Rate (MDR). MDR QRIS adalah biaya jasa yang dikenakan kepada pedagang alias merchant oleh Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) saat konsumen bertransaksi menggunakan QRIS.

“Artinya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru, yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant,” jelasnya kepada kumparan, Sabtu (21/12).

Menurut Dwi Astuti, pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru.

Layanan yang dikenakan PPN di antaranya uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana. PPN berlaku untuk biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara.

Sementara nilai uang elektronik itu sendiri, termasuk saldo, bonus point, reward point, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.

By admin