Institut Penyakit Menular Jepang melaporkan peningkatan kasus infeksi bakteri serius disebut streptococcal toxic shock syndrome (STSS). Kondisi langka tapi mematikan ini umumnya disebabkan oleh bakteri Streptococcus pyogenes.
Meski negara lain telah mengalami wabah ini dalam beberapa tahun terakhir, lonjakan kasus di Jepang telah menimbulkan kekhawatiran. Lantas, apa itu STSS? Mari kita bahas lebih lanjut.
Apa itu streptococcal toxic shock syndrome?
S. pyogenes atau kadang disebut sebagai Group A Strep adalah mikroba yang dapat hidup dengan baik di kulit manusia tapi menyebabkan berbagai penyakit. Pada spektrum yang lebih ringan, S. pyogenes bertanggung jawab atas impetigo, radang tenggorokan, dan demam berdarah. Namun, dia juga dapat menyebabkan penyakit yang lebih serius, seperti selulitis–infeksi jaringan dalam kulit–, penyakit pemakan daging alias necrotizing fasciitis, atau STSS.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), siapapun bisa tertular STSS, dan kebanyakan tidak diketahui bagaimana bakteri bisa masuk ke dalam tubuh.
Namun, ada beberapa faktor yang dapat membuat seseorang berisiko terinfeksi S. pyogenes, seperti cedera kulit, luka operasi, infeksi cacar air yang baru-baru ini menyebabkan luka terbuka, dan penggunaan tampon.
Bagaimana situasi di Jepang?
Meski kasusnya tidak sebanyak infeksi wabah virus, kasus STSS selalu ada dalam jumlah kecil setiap tahunnya. Namun, pihak berwenang Jepang melaporkan pada Maret 2024, kasus STSS di negaranya mengalami lonjakan.
“Ada 409 kasus STTS yang disebabkan S. pyogenes sepanjang tahun 2023, dan 335 kasus dalam 11 minggu pertama pada tahun 2024,” lapor pihak berwenang Jepang sebagaimana dikutip IFL Science. “Jumlah kasus STSS yang dilaporkan yang disebabkan oleh S. pyogenes telah meningkat sejak Juli 2023, terutama di antara mereka yang berusia di bawah 50 tahun.”
Data terakhir hingga periode 2 Juni 2024 menunjukkan belum ada tanda-tanda penurunan kasus STSS.
“Dengan tingkat infeksi saat ini, jumlah kasus di Jepang bisa mencapai 2.500 pada tahun ini, dengan tingkat kematian sebesar 30 persen,” ujar Ken Kikuchi, ahli penyakit menular kepada Japan Times.
Apa saja gejala STSS?
Menurut CDC, gejala pertama STSS biasanya berupa demam/menggigil, nyeri otot, dan mual/muntah. Infeksi akan berkembang dengan sangat cepat, jadi penting bagi siapa pun yang diduga mengidap STSS untuk segera menemui dokter.
Dalam waktu 24 – 48 jam, gejala yang mengancam jiwa seperti tekanan darah rendah, takikardia, dan kegagalan organ mulai muncul. Bahkan setelah mendapat perawatan, sebanyak 3 dari 10 kasus STSS berakhir dengan kematian.
Korban yang selamat mungkin perlu diamputasi untuk mengangkat jaringan anggota tubuh yang terinfeksi. Begitu seseorang menderita STSS, mereka berisiko lebih besar mengalami kondisi yang sama di masa depan.
Apakah ada cara untuk mencegah STSS?
“Karena cacar air dan influenza merupakan faktor risiko infeksi S. pyogenes yang parah, vaksinasi terhadap virus varicella zoster dan influenza dapat mengurangi risiko infeksi S. pyogenes yang parah,” Dr Céline Gounder, editor-at-large for public health di KFF Health News, mengatakan kepada CBS News.
Konsumsi alkohol dan penggunaan narkoba suntik paling berisiko terkena STSS, sehingga mengurangi penggunaan keduanya bisa membantu mengurangi risiko infeksi. Kendati sampai saat ini belum ada cara pasti untuk menghindari infeksi STSS.
Apa pun penyebab meningkatnya kasus STSS saat ini, penting untuk mewaspadai tanda-tanada infeksi dan mencari pengobatan sebelum keadaan menjadi lebih serius. Membersihkan luka sangat penting agar terhindar dari infeksi STSS. Kalau kamu terluka atau ada luka goresan, pastikan area tersebut tetap bersih dan hati-hati terhadap reaksi kemerahan, bengkak, dan nyeri yang semakin parah yang mengindikasikan adanya infeksi.
Mengetahui tanda-tanda atau gejala dapat membantu kamu mengenali potensi STSS, serta komplikasi infeksi serius lainnya, seperti sepsis.