Ilustrasi anak penakut. Foto: Shutter Stock

Setiap orang tua berharap buah hatinya tumbuh menjadi pribadi yang pemberani dan penuh pertama kali dikenalkan oleh psikolog asal New York, Diana Baumrind, pada tahun 1960-an. Ia mengkritik pola asuh ini dan menyebutnya sebagai pola asuh otoriter, karena orang tua mengandalkan hukuman dan ancaman untuk membuat anak menuruti keinginannya.

Pada awalnya, mungkin si kecil akan menjadi anak yang penurut dan memenuhi seluruh keinginan orang tua. Namun, pola asuh ini dapat berdampak buruk pada kesehatan mental anak di masa depan.

Ironisnya, terkadang orang tua tidak menyadari telah menerapkan fear-based parenting di rumahnya. Mereka menganggap itu adalah cara yang efektif untuk mendisiplinkan anak, padahal yang terjadi adalah anak merasa tertekan dan menurut karena takut, bukan atas keinginannya pribadi.

Contoh fear-based parenting misalnya menyuruh anak mandi dan jika mereka menolak, orang tua akan mengambil mainannya tanpa penjelasan. Ucapan seperti, “Ayo sikat gigi, kalau enggak mau, nanti dibawa ke dokter, lho!” juga termasuk bentuk menakut-nakuti anak yang dilarang, Moms.

Ilustrasi anak takut. Foto: Shutter Stock

Dr. Danine Dean, psikolog asal California menjelaskan dalam laman Psych Central bahwa dampak utama dari fear-based parenting adalah anak jadi penakut dan kurang percaya diri.

“Anak-anak mungkin takut mengambil keputusan sendiri, yang berpotensi menyebabkan penurunan kepercayaan diri, kecemasan, atau kurang memiliki ketahanan diri,” jelasnya.

Pendapat serupa juga datang dari Carolyn Solo, seorang pekerja sosial klinis berlisensi dari Pennsylvania yang spesialis di bidang pengasuhan dan kesehatan mental anak.

“Pengasuhan yang berbasis rasa takut (sering) mengakibatkan anak-anak memiliki harga diri yang rendah (low self esteem), kesulitan dalam persahabatan dan hubungan romantis, keterampilan pengambilan keputusan yang buruk, dan kesulitan dalam penilaian risiko,” terang Solo.

Kontrol orang tua dalam fear-based parenting juga berpeluang tinggi membuat anak depresi. Ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah studi terbitan National Library of Medicine berjudul Parenting Style and Mental Disorders in a Nationally Representative Sample of US Adolescents susunan John David Eun dkk.

Jika gaya parenting ini terus berlanjut hingga dewasa, anak bisa mengalami kecemasan (anxiety), gangguan makan, agorafobia atau ketakutan, kekhawatiran, dan kepanikan berlebihan di tempat umum, hingga penyalahgunaan alkohol.

Baca Juga: Anak Sering Cemas? Hindari Ucapan Ini ke Si Kecil

By admin