Beberapa wanita di dunia masih melakukan praktik aborsi sebagai bagian dari menggugurkan anak dalam kandungan. Baru-baru ini, sebuah studi menyebut bahwa rasa sakit aborsi lebih parah daripada kram menstruasi.
Di beberapa negara maju, aborsi biasanya dilakukan dengan meminum pil. Pil aborsi ini menjadi metode paling efektif untuk mengakhiri kehamilan. Pada tahap awal kehamilan atau sebelum usia kehamilan 10 minggu, ibu hamil dapat meminum “pil aborsi” untuk menggugurkan bayinya.
Dalam situs web Planned Parenthood, nyeri aborsi digambarkan seperti mengalami kram menstruasi yang sangat parah. Namun, sebuah survei yang dilakukan pada 1.600 wanita di Inggris dan Wales yang baru-baru ini melakukan aborsi menemukan bahwa membandingkan rasa sakit aborsi dengan kram menstruasi bikin banyak wanita tak siap melakukan aborsi.
“Rasa sakitnya jauh lebih parah daripada nyeri haid, seperti mengalami kontraksi saat melahirkan,” tulis salah satu responden survei sebagaimana dikutip Newsweek.
“Saya telah melahirkan tiga kali dan rasa sakitnya tidak jauh berbeda dari rasa sakit itu, rasa sakit kram akibat kontraksi.”
Sekitar 48,5 persen responden mengatakan nyeri yang mereka alami lebih parah dari yang mereka duga.
“Perbandingan terhadap nyeri haid telah lama digunakan sebagai cara untuk memberikan gambaran nyeri terkait dengan aborsi medis, meski nyeri haid yang dialami sangat bervariasi,” ujar Hannah McCulloch, penulis utama studi dan peneliti di British Pregnancy Advisory Service. “Hasil survei menunjukkan bahwa konseling mengenai aspek aborsi medis ini perlu ditingkatkan.”
Dalam survei tersebut, banyak wanita mengaku rasa sakit dari aborsi telah “diremehkan” dan “dikemas dengan manis” dalam brosur informasi dan konsultasi medis, di mana aborsi dikatakan seperti nyeri menstruasi atau kram menstruasi.
Salah satu responden menyebut, jika nyeri aborsi dideskripsikan dengan gamblang di brosur, mungkin akan banyak wanita yang urung melakukannya. Dia juga bilang, seharusnya pasien memiliki hak untuk sepenuhnya memahami risiko dan manfaat dari praktik tersebut.
Survie juga menunjukkan, dua pertiga responden mengaku masih memilih jenis aborsi [minum pil] jika membutuhkannya di masa mendatang, dan 13 persen responden memilih altenatif lain, dengan aborsi bedah di klinik–sebagian besar menyebut rasa sakit sebagai alasan.
Dengan memberi nilai nyeri pada skala maksimum 10, responden yang memilih aborsi di klinik memberikan nilai 8,5 dari rasa nyeri yang dialami saat aborsi. Sementara responden yang tetap memilih aborsi menggunakan pil, memberikan nilai 6 dari 10.
“Wanita menginginkan informasi yang lebih rinci dan realistis untuk membuat pilihan tentang perawatan dan bersiap untuk aborsi medis jika itu pilihan mereka,” kata McCulloch.
Adapun survei dilakukan secara daring di antara klien British Pregnancy Advisory Service antara November 2021 hingga Maret 2022.
Di Indonesia, praktik aborsi dilarang oleh Undang-Undang, kecuali untuk kondisi darurat medis yang mengancam nyawa ibu dan janin, serta bagi korban perkosaan. Larangan aborsi ini diatur dalam KUHP dan UU 1/2023 yang secara spesifik tercantum di Pasal 60 UU Kesehatan dengan bunyi sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.”