Kejaksaan Agung akhirnya mengajukan banding terhadap vonis Harvey Moeis, yang dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara atas dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah. Vonis ini dinilai jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Harvey dengan pidana 12 tahun penjara.
Pengajuan banding itu dilayangkan pada Jumat (27/12). Berikut kumparan rangkum seputar pengajuan banding tersebut.
Hukuman Harvey Moeis Dinilai Terlalu Ringan
Pengajuan banding itu disampaikan oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI, Harli Siregar.
“Per hari ini, JPU menyatakan banding atas putusan Harvey Moeis dkk,” ujar Harli kepada wartawan, Jumat (27/12).
Vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta sendiri disebut lebih ringan dibanding tuntutan jaksa. Harvey dihukum 6,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, dan ditambah harus membayar uang pengganti Rp 210 miliar.
Vonis tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa. Yakni 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun penjara, serta uang pengganti sebesar Rp 210 miliar.
Harvey Moeis Divonis 6,5 Tahun Penjara, KY Cek Dugaan Pelanggaran Etik Hakim
Komisi Yudisial turun tangan mendalami vonis hakim terhadap Harvey Moeis. Sebab, vonis 6,5 tahun penjara terhadap Harvey dalam kasus yang merugikan negara Rp 300 Triliun ini telah menimbulkan gejolak di masyarakat.
“KY juga akan melakukan pendalaman terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tersebut untuk melihat apakah ada dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang terjadi,” kata juru bicara sekaligus anggota KY, Mukti Fajar Nur Dewata, dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (27/12).
“Namun, KY tidak akan masuk ke ranah substansi putusan,” sambungnya.Fajar mengatakan, selama persidangan berlangsung, KY berinisiatif menurunkan tim untuk melakukan pemantauan persidangan. Beberapa di antaranya saat sidang menghadirkan ahli, saksi a de charge dan saksi.
“Hal ini sebagai upaya agar hakim dapat menjaga imparsialitas dan independensinya agar bisa memutus perkara dengan adil,” kata dia.
Mahfud soal Vonis 6,5 Tahun Bui Harvey Moeis: Kecil Sekali Bagi Garong Rp 300 T
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menilai vonis rendah tersebut telah menusuk rasa keadilan di masyarakat.
“Iya saya merasa itu [vonis Harvey Moeis] menusuk rasa keadilan masyarakat, ya. Ini baru pertama ada orang diduga, didakwa bukan diduga. Didakwa. Didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebesar Rp 300 triliun. Lalu, tuntutannya hanya 12 tahun,” ujar Mahfud kepada wartawan di MMD Initiative, Jakarta Pusat, Kamis (26/12).
Ia menyebut, perbuatan korupsi Harvey yang telah merugikan negara Rp 300 triliun justru tak sebanding dengan hukuman yang diterimanya di pengadilan. Mahfud menyebut, vonis itu tak adil.
Selain divonis 6,5 tahun penjara, Harvey Moeis dihukum pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider pidana kurungan selama 6 bulan.
Ia juga diminta untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar subsider pidana penjara selama 2 tahun.
“Dengan uang yang tadi Rp 300 triliun itu dikembalikan hanya Rp 210 miliar. Ditambah denda Rp 1 miliar. Itu sungguh menusuk rasa keadilan,” ucap Mahfud.
Ketua MA soal Vonis Harvey Moeis yang Dikritik: Hakim Memutus Didasarkan Bukti
Ketua Mahkamah Agung Sunarto menanggapi sejumlah kritik soal vonis Harvey Moeis. Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah.
Vonis ini dinilai tak sebanding dengan kerugian negara yang dihasilkannya, yaitu Rp 300 triliun. Menanggapi hal itu, Sunarto mengatakan hakim dalam memutus perkara didasarkan pada alat bukti dan keyakinannya.
“Ada beberapa putusan yang dianggap kurang memenuhi harapan masyarakat. Sekali lagi hakim ketika memutus itu didasarkan pada alat bukti dan keyakinannya,” ujar ketua MA, Sunarto di gedung MA, Jakarta pada Jumat (27/12).
Sunarto lalu menjelaskan, dalam menjatuhkan vonis, hakim harus memenuhi tiga syarat.
“Yang pertama menciptakan adanya kepastian hukum. Yang kedua harus menciptakan adanya atau memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pencari keadilan,” tuturnya.
“Di situ lah hakim dalam memutus menggabungkan, meramu alat-alat bukti yang ada, ditambah keyakinan ini bukan berdasarkan informasi ‘katanya’, tetapi hakim dalam memutus berdasarkan alat bukti yang ada,” tambahnya.