Petugas kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri (APD) bersiap merawat pasien di rumah sakit darurat penyakit virus corona (COVID-19), di Jakarta, Indonesia, 17 Juni 2021. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/Reuters

Covid muncul secara tiba-tiba, menyebar dengan cepat, dan menewaskan jutaan orang di seluruh dunia. Sejak saat itu, ada kekhawatiran akan datangnya penyakit menular baru di masa depan, baik itu disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, atau parasit.

Kini, covid memang telah mereda. Namun, ada tiga penyakit menular yang menurut pejabat kesehatan terus menjadi ancaman di setiap tahunnya. Tiga penyakit tersebut adalah malaria (parasit), HIV (virus), dan tuberkulosis (bakteri). Ketiganya membunuh sekitar 2 juta orang setiap tahun.

Para ilmuwan juga terus memantau perkembangan penyakit yang berpotensi menyebar di seluruh dunia, dan beberapa patogen lebih mungkin menyebabkan wabah daripada yang lain, termasuk virus influenza.

Saat ini, ada satu virus influenza yang menimbulkan kekhawatiran besar dan hampir menjadi masalah serius di tahun 2025. Virus ini adalah sub-tipe influenza A H5N1, yang terkadang disebut “flu burung”. Belakangan, kasus flu burung kembali mencuat di negara maju, salah satunya menginfeksi sapi perah di beberapa negara bagian AS, dan ditemukan pada kuda di Mongolia.

Ketika kasus influenza mulai meningkat pada hewan, muncul ada kekhawatiran penyakit ini bisa menular ke manusia. Di AS, sepanjang tahun 2024 tercatat ada 61 kasus flu burung pada manusia, sebagian besar disebabkan oleh pekerja peternakan yang bersentuhan langsung dengan hewan terinfeksi, atau orang-orang yang minum susu muntah.

Ini merupakan peningkatan kasus yang cukup besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ditambah dengan tingkat kematian infeksi flu burung pada manusia mencapai 30 persen. Meski begitu, kecil kemungkinan flu burung menjadi pandemi. Virus ini tidak menular dari orang ke orang. Virus influenza harus menempel pada struktur molekuler yang disebut reseptor sialic di bagian luar sel agar dapat masuk dan mulai bereplikasi.

Dokter hewan menyuntikkan vaksin ND+AI inaktif kepada seekor ayam di Kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (6/3/2023). Foto: Raisan Al Farisi/ANTARA FOTO

Virus flu bisa beradaptasi sangat baik di manusia dengan mengenali reseptor sialic ini, sehingga memudahkannya masuk ke dalam sel kita, yang berkontribusi terhadap penyebarannya di antara manusia. Di sisi lain, flu burung sangat beradaptasi dengan reseptor sialic burung, dan memiliki beberapa ketidakcocokan saat menempel di reseptor manusia. Jadi, dalam bentuknya saat ini, H5N1 tidak dapat menyebar dengan mudah dari orang ke orang.

Namun, studi terkini menunjukkan bahwa satu mutasi tunggal dalam genom flu dapat membuat H5N1 lebih pandai menular di antara manusia, yang dapat memicu pandemi. Jika jenis flu burung ini bermutasi dan lebih pandai menular, pemerintah harus bertindak cepat untuk mengendalikan penyebarannya.

Pusat pengendalian penyakit di seluruh dunia telah menyusun rencana kesiapsiagaan pandemi flu burung dan penyakit lain yang muncul di masa depan. Inggris, misalnya, telah membeli 5 juta dosis vaksin H5 yang dapat melindungi kita dari flu burung, sebagian bagian dari persiapan menghadapi risiko pandemi di tahun 2025.

Bahkan, penyebaran flu burung di tahun 2025 tidak hanya mengancam nyawa manusia, tapi juga hewan-hewan ternak yang ada di seluruh dunia. Hal ini berpotensi mengganggu pasokan pangan dan berdampak pada perekonomian.

Artinya, seluruh elemen mulai dari pemerintah, industri, hingga masyarakat harus mulai memandang serius pentingnya menjaga kesehatan. Bukan hanya kesehatan diri sendiri, tapi juga hewan dan lingkungan sebagai entitas yang saling terhubung.

“Dengan memahami dan mencegah penyakit di lingkungan sekitar, kita dapat lebih siap dalam memerangi penyakit yang menyerang manusia. Demikian pula, dengan mensurvei dan menghentikan penyakit menular pada manusia, kita juga dapat melindungi hewan dan kesehatan lingkungan,” papar Conor Meehan, Associate Professor Bioinformatika Mikroba di Nottingham Trent University dalam The Conversation.

By admin