Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja neraca perdagangan sepanjang 2024 tercatat terus surplus, dari 45 bulan berturut-turut pada Januari 2024, menjadi 55 bulan berturut-turut pada November 2024.
Pada Januari 2024 neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus sebesar USD 2,02 miliar, turun jadi USD 0,87 miliar pada Februari. Melejit pada Maret jadi USD 4,47 miliar, lalu April USD 3,56 miliar, dan Mei USD 2,93 miliar.
Surplus neraca perdagangan Indonesia kembali turun pada level USD 2,39 miliar pada Juni 2024, turun dalam pada Juli menjadi USD 0,47 miliar, naik menjadi USD 2,90 miliar pada Agustus, naik pada September jadi USD 3,26 miliar, turun pada Oktober USD 2,48 miliar dan kembali meroket pada November menjadi USD 4,42 miliar.
Berdasarkan catatan kumparan, surplus terbesar terjadi di bulan Maret 2024 yaitu sebesar USD 4,47 miliar, dengan ekspor USD 22,43 miliar dan impor USD 17,96 miliar.
Pada Maret 2024, aturan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36 tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor mulai berlaku, tepatnya pada 10 Maret 2024. Aturan ini mengetatkan masuknya berbagai komoditas impor ke dalam negeri, sehingga dianggap sebagai aturan yang berpihak kepada industri lokal.
Hanya saja, umur aturan ini tidak lama, sebab Kementerian Perdagangan (Kemendag) kemudian menerbitkan revisi pertama aturan ini yaitu Permendag nomor 3 tahun 2024 tentang perubahan atas Permendag 36 Tahun 2023 pada April 2024, Permendag 7/2024 hingga Permendag 8/2024.
Selain dari kinerja neraca perdagangan, kinerja industri juga tercatat gemilang pada Maret 2024, dengan Purchasing Manager’s Index (PMI) yang dirilis S&P Global sebesar 54,2 dan merupakan rekor tertinggi PMI manufaktur RI selama 2 tahun terakhir.
Sementara, surplus neraca perdagangan terendah terjadi pada bulan Juli yang sebesar USD 0,47 miliar, dengan nilai ekspor capai USD 22,21 miliar dan impor USD 21,47 miliar.
Juli 2024 merupakan bulan ketiga setelah Permendag 8/2024 resmi diberlakukan pada 17 Mei 2024. Beleid ini banyak menuai protes dari pelaku industri juga kementerian teknis terkait, seperti Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang mengurusi tenaga kerja di Indonesia.
Hal ini dikarenakan kebijakan ini dianggap membuka keran impor berbagai komoditas. Sehingga permasalahan banjirnya produk impor di pasar dalam negeri membuat kinerja industri padat karya melesu, imbasnya tren Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merebak.
Meski tidak membeberkan data pastinya, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial Kemnaker Indah Anggoro Putri mengatakan disparitas jumlah pekerja terdampak PHK pada periode Januari-Juli 2024 dengan Januari-Juli 2023 mencapai 4.000 pekerja.
Artinya jumlah tenaga kerja terdampak PHK sepanjang Januari-Juli 2024 lebih banyak 4.000 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Kinerja Industri Mulai Jeblok Sejak Juli 2024
Tidak hanya neraca perdagangan yang tercatat sebagai surplus terendah, pada Juli 2024, kinerja industri juga masuk pada fase kontraksi atau di bawah angka 50.
Berdasarkan data S&P Global, PMI manufaktur Indonesia di Juli 2024 sebesar 49,3, turun dibandingkan Juni 2024 yang berada di posisi 50,7. Tren ini terus berlanjut, PMI manufaktur Indonesia pada Agustus 48,9, September dan Oktober 49,2, dan sedikit naik pada November menjadi 49,6, meski masih dalam masa kontraksi.
Pemerintah Didesak Segera Revisi Permendag 8/2024
Pelaku industri tetap mendesak pemerintah segera merombak aturan Permendag 8/2024. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, meminta pemerintah merevisi beleid tersebut, sebab membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terancam oleh gempuran produk impor.
“Harapan kita akan segera ada perubahan regulasi untuk memperkuat industri TPT dalam negeri,” kata Danang kepada kumparan, Selasa (25/6).
Ia berpendapat, Permendag 8 tahun 2024 ini telah secara nyata dimaksudkan merugikan industri tekstil dan garmen. “Permendag 8 meniadakan aturan Pertimbangan Teknis (Pertek) yang menjadi kewenangan Kemenperin dan sudah dipatuhi dengan baik oleh pelaku industri tekstil dan garmen,” tambah dia.
Permasalahan ini bahkan membuat Presiden Jokowi menggelar Rapat Terbatas (Ratas) membahas hal tersebut pada hari ini, Selasa (25/6). Hasil Ratas tersebut, pemerintah memastikan segera menerbitkan aturan baru terkait Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) kain.
Selain pengusaha, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer, juga berpendapat hal yang sama. Dia setuju agar Permendag 8/2024 direvisi, sebab menurut dia, merevisi aturan tersebut, ia yakin pemerintah dapat menahan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia.
“Revisi lah. Itu dari kawan-kawan itu ya keluhannya ke saya. Tapi saya sampaikan semoga apa yang saya sampaikan ini bisa didengar ke lembaga kementerian yang mengeluarkan Permen itu,” tutur Immanuel yang akrab disapa Noel, di kediamannya di Jakarta Selatan, Kamis (25/12).
Berdasarkan data Kemnaker, setidaknya ada 80 ribu pekerja terdampak PHK sepanjang Januari hingga awal Desember 2024. Menurut Noel, Permendag 8/2024 menjadi biang kerok tingginya angka PHK tersebut.
Teken Restriksi Perdagangan Non Tarif
Pada awal Agustus 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan kebijakan pengenaan BMTP pada produk kain, karpet dan tekstil penutup lantai lainnya. Peraturan menteri tersebut diundangkan pada 6 Agustus 2024 dan berlaku 3 hari setelahnya atau 9 Agustus 2024.
Kebijakan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Kain dan PMK Nomor 49 Tahun 2024 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Karpet dan Tekstil Penutup Lantai Lainnya.
Selain untuk tekstil, pemerintah juga meneken kebijakan non tariff barrier lainnya, yaitu BMAD untuk produk keramik asal China sebesar 35 persen hingga 50 persen pada 28 Oktober 2024.
Kebijakan ini tertuang dalam PMK 70/2024 tentang Kebijakan Bea Masuk Antidumping Terhadap Impor Produk Ubi Keraik dari Republik Rakyat Tiongkok.
Permasalahan banjirnya produk impor ini juga yang menggerakkan Kemendag di bawah komando Menteri Perdagangan terdahulu, Zulkifli Hasan untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang mengurusi impor ilegal.
Satgas itu diberi nama Satgas Pengawasan Barang Tertentu yang Diberlakukan Tata Niaga Impor dan bekerja mulai pertengahan Juli 2024 hingga Desember 2024. Satgas ini tercatat pernah menemukan modus penjualan barang impor ilegal senilai Rp 40 miliar dengan mayoritas produk pakaian jadi senilai Rp 20 miliar.