Ilustrasi Kekerasan Online pada Remaja Foto: Shutterstock

Kebijakan lockdown, atau kalau di Indonesia disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dinilai berhasil mengurangi penularan dan kematian akibat virus corona. Studi yang terbit di jurnal PLOS ONE, misalnya, menyebut lockdown telah menyelamatkan 1 juta nyawa masyarakat AS pada paruh waktu 2020.

Meski begitu, pembatasan itu telah mengubah kehidupan banyak orang, dan malah lebih buruk. Selain menimbulkan malapetaka bagi perekonomian, lockdown memaksa orang-orang untuk diam di dalam rumah, siswa dilarang pergi ke sekolah pembelajaran dilakukan secara daring, sektor perkantoran memberlakukan WFH, dan pusat perbelanjaan ditutup hingga bangkrut.

Anak-anak menjadi kelompok paling rentan terkena dampak ini, dan baru-baru ini sebuah studi yang terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Science, menemukan secara tidak langsung lockdown telah membuat otak remaja menua lebih dini, mempercepat penipisan alami korteks serebral yang terjadi seiring bertambahnya usia manusia. Efek ini lebih besar dialami oleh anak perempuan.

“Kita menganggap pandemi COVID-19 sebagai krisis kesehatan, tapi kita tahu bahwa pandemi ini juga menghasilkan perubahan besar lainnya dalam kehidupan kita, terutama bagi para remaja,” tulis Patricia Kuhl, penulis senior salah satu direktur di Institute for Learning & Brain Sciences (I-LABS) University of Washington.

Korteks serebral secara alami menipis seiring bertambahnya usia, bahkan pada masa remaja, dan ketebalannya berfungsi sebagai indikator otak yang matang.

Para peneliti mengumpulkan data MRI pada 2018 dari 160 anak, yang semuanya berusia 9 hingga 17 tahun. Awalnya mereka ingin meneliti perubahan umum dalam perkembangan otak remaja.

Pada 2020, peneliti kemudian ingin mengumpulkan lebih banyak data, namun terganjal pandemi Covid. Pandemi menunda riset mereka, hingga berlanjut ke tahun 2021 dan mengakhiri penelitian awal ini–tapi meninggalkan data sebelum pandemi terjadi sehingga memungkinkan ilmuwan melihat bagaimana karantina memengaruhi anak-anak ini.

Ilustrasi saraf otak. Foto: Axel_Kock/Shutterstock

“Begitu pandemi berlangsung, kami mulai memikirkan pengukuran otak mana yang memungkinkan kami memperkirakan dampak pembatasan sosial pandemi terhadap anak,” kata Neva Corrigan, penulis utama studi dan ilmuwan di I-LABS. “Apa artinya bagi remaja untuk lebih banyak berada di rumah daripada berada di lingkungan sosial.”

Penelitian telah menunjukkan bahwa stres dan kesulitan kronis dapat mempercepat penipisan korteks serebral. Menurut Corrigan, proses ini dikaitkan dengan risiko lebih tinggi dalam mengembangkan gangguan neuropsikiatri dan perilaku, termasuk kecemasan dan depresi.

Studi baru ini mengulangi temuan dari dua penelitian sebelumnya, di mana keduanya melaporkan penipisan kortikal yang lebih cepat di kalangan remaja setelah tahun 2020.

Dalam studi baru, penelitian menemukan fakta lain yang menunjukkan bahwa penipisan kortikal (korteks) selama pandemi lebih terasa pada anak perempuan. Untuk mengungkap hal ini, peneliti menggunakan data 2018 mereka untuk membuat model penipisan korteks yang terjadi pada remaja dalam beberapa tahun sejak MRI pertama dilakukan. Peneliti kemudian melakukan pemeriksaan MRI baru dengan subjek yang sama.

MRI terbaru menunjukkan penipisan korteks yang cepat sepanjang masa remaja, terutama pada subjek perempuan yang otaknya tampak lebih terpengaruh secara luas. Efek penipisan pada perempuan muncul di semua lobus dan kedua belahan otak.

Bagi pria, percepatan penipisan korteks antara tahun 2018 hingga 2021 rata-rata setara dengan tambahan 1,4 tahun. Jumlah ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan remaja perempuan yang percepatan penipisan korteks-nya rata-rata bertambah 4,2 tahun penuaan otak.

“Remaja benar-benar berjalan di atas tali, mencoba menata kembali hidup mereka,” kata Kuhl sebagaimana dikutip Science Alert.

Mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa. Kemudian pandemi global melanda dan sarana untuk melepaskan stres (stres-relief) yang biasa pun hilang.”– Patricia Kuhl, penulis senior salah satu direktur di Institute for Learning & Brain Sciences (I-LABS) University of Washington –

Selain kehilangan banyak sarana stres-rilief pada 2020, Kuhl mengatakan remaja masih terbebani oleh tekanan sosial dan perundungan di media sosial. Masih belum jelas kenapa lockdown memengaruhi pria dan wanita secara berbeda, tapi Kuhl dan rekannya menduga ini kemungkinan cerminan prioritas sosial yang berbeda.

“Bagi perempuan, hubungan dengan teman sebaya sangat penting untuk pengembangan identitas diri, dan perempuan lebih mengandalkan hubungan ini untuk mendapatkan dukungan emosional daripada laki-laki,” tulis para peneliti.

Bagi laki-laki, hubungan pertemanan lebih diekspresikan oleh persahabatan dan main bersama ketimbang dukungan emosional.

“Pandemi tampaknya benar-benar mengisolasi anak perempuan,” kata Kuhl. “Semua remaja terisolasi, tapi anak perempuan lebih menderita. Pandemi memengaruhi otak mereka secara lebih parah.”

By admin