Indonesia mendapatkan pinjaman dari Jepang melalui Japan International International Cooperation Agency (JICA). Total utang yang diberikan Jepang ke Indonesia kali ini senilai 38,693 miliar yen atau setara Rp 3,9 triliun.
Kesepakatan tersebut setelah Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, dan Direktur Jenderal Asia, Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri RI, Abdul Kadir Jailani, menandatangani Pertukaran Nota atau E/N, Selasa (24/12).
Kepala Bagian Ekonomi, Kedutaan Besar Jepang, Hajime Ueda, mengatakan nilai tersebut untuk dua proyek yaitu pinjaman sektor pengurangan risiko bencana gunung berapi senilai 23,148 miliar yen dan untuk pengembangan terpadu pelabuhan perikanan dan pasar ikan internasional senilai 15,545 miliar yen.
Untuk pinjaman sektor pengurangan risiko bencana gunung berapi, Hajime mengatakan, proyek perbaikan fasilitas pengendalian sabo (erosi) ini bertujuan untuk berkontribusi pada pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan di wilayah gunung berapi di Indonesia dengan memperbaiki fasilitas pengendalian erosi.
Selain itu, menerapkan langkah non-struktural untuk memulihkan kerusakan yang disebabkan oleh letusan gunung berapi dan mengurangi risiko bencana.
Hajime menjelaskan gambaran umum proyeknya yaitu ada 3 target gunung berapi yaitu Gunung Semeru, Kelud, dan Agung. Implementasinya dengan persiapan rencana induk untuk pengendalian erosi vulkanik, perbaikan, rekonstruksi, dan pembangunan baru fasilitas pengendalian erosi.
“Langkah-langkah non-struktural seperti pemasangan radar curah hujan dan dukungan untuk kesadaran bencana,” ujar Hajime dalam konferensi pers, di Kantor Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Selasa (24/12).
Suku bunga untuk pinjaman sektor pengurangan risiko bencana gunung berapi sebesar 1,6 persen (bunga tetap 0,2 persen per tahun untuk porsi jasa konsultasi. Masa pengembalian 30 tahun termasuk grace periode 10 tahun. Syarat pengadaan tidak terikat.
Sementara itu, untuk pinjaman sektor untuk pengembangan terpadu pelabuhan perikanan dan pasar ikan internasional, proyek ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah produk perikanan yang didaratkan di wilayah proyek dan meningkatkan kualitas produk perikanan yang dijual melalui rantai pasokan, dengan mengembangkan dan merehabilitasi pelabuhan perikanan dan fasilitas terkait pasar di seluruh Indonesia.
Sehingga berkontribusi pada pembangunan sosial ekonomi yang berkelanjutan di wilayah tersebut.
“Untuk pinjaman sektor untuk pengembangan terpadu pelabuhan perikanan dan pasar ikan internasional. Kami akan melakukan F/S dan D/D (Detailed Design) di 8 pelabuhan perikanan,” ungkap Hajime.
8 pelabuhan perikanan tersebut yaitu Banda Aceh, Aceh; Bagansiapiapi, Riau; Natuna, Kepulauan Riau; Jakarta, DKI Jakarta; Pekalongan, Jawa Tengah; Likupang, Sulawesi Utara; Biak, Papua dan Merauke, Papua Selatan.
Berdasarkan hasil F/S dan D/D, untuk pelabuhan perikanan yang diidentifikasi sebagai prioritas tinggi akan dilakukan pemeliharaan dan rehabilitasi pemecah gelombang, dermaga pendaratan, pabrik pengolahan ikan, serta fasilitas pembekuan dan pendinginan.
Suku bunga untuk pinjaman sektor pengembangan terpadu pelabuhan perikanan dan pasar ikan internasional sebesar 1,8 persen, dengan masa pengembalian 30 tahun termasuk grace periode 10 tahun. Syarat pengadaan tidak terikat.